Print

Risk Appetite and Risk Culture: Pilar Utama dalam Penguatan Manajemen Risiko di Sektor Keuangan

  • 9 Oktober 2025
  • Lintas Sektor
  • Online

Background

Dalam menghadapi perkembangan sektor keuangan yang semakin kompleks dan dinamis, manajemen risiko menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tata kelola perusahaan. Penerapan manajemen risiko yang efektif tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme perlindungan terhadap berbagai ancaman, tetapi juga menjadi pondasi penting untuk mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan serta menjaga kepercayaan publik. Manajemen risiko yang baik membantu lembaga keuangan menghadapi ketidakpastian pasar dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, manajemen risiko telah bertransformasi menjadi elemen strategis utama dalam pencapaian tujuan bisnis dan keberlangsungan sektor keuangan secara menyeluruh.

Dalam konteks manajemen risiko, terdapat dua pilar utama yang saling berkaitan, yaitu risk appetite dan risk culture. Risk appetite merupakan kerangka formal yang membantu organisasi mendefinisikan jenis dan besaran risiko yang bersedia diambil sesuai dengan tujuan strategis perusahaan. Risk Appetite Framework (RAF) menjadi alat penting dalam menyelaraskan tingkat risiko yang dapat diterima dengan strategi bisnis secara keseluruhan. Studi EY menunjukkan bahwa perusahaan dengan manajemen risiko unggul, yang disebut sebagai “Risk Strategists,” 55% lebih mungkin menggunakan RAF untuk menetapkan batas risiko yang diperbolehkan[1]. Dengan pendekatan ini, organisasi dapat mengambil keputusan yang lebih berani namun tetap terukur, sehingga risk appetite berperan sebagai pendorong pertumbuhan bisnis dan bukan sekadar mekanisme kepatuhan.

Sementara itu, risk culture mencerminkan sikap, nilai, dan perilaku seluruh anggota organisasi dalam mengelola risiko. Budaya risiko yang kuat adalah fondasi utama untuk memastikan efektivitas manajemen risiko. Banyak insiden risiko berakar pada permasalahan budaya organisasi, sehingga perbaikan model dan proses saja tidak cukup tanpa budaya yang tepat. Sebaliknya, budaya risiko yang sehat mendorong karyawan untuk secara terbuka melaporkan dan mendiskusikan risiko, serta secara proaktif mengidentifikasi potensi risiko baru[2]. Budaya risiko yang kuat akan membantu institusi keuangan dalam mengenali dan mengelola risiko baru, dengan mendorong pegawai untuk menantang status quo dan berperan aktif dalam mitigasi risiko[3].

Dalam membangun budaya risiko yang kokoh, KPMG mengidentifikasi empat pilar utama yang harus diperkuat, yaitu kepemimpinan puncak yang memberikan contoh dan nilai yang jelas (tone from the top), komunikasi terbuka dan keberagaman perspektif, akuntabilitas risiko yang terdefinisi dengan baik, serta insentif yang tidak hanya fokus pada hasil jangka pendek tetapi juga mendorong perilaku etis dan berkelanjutan. Semua elemen ini saling terkait, dimana insentif yang tepat akan mengarahkan pegawai untuk mengelola risiko secara bijaksana dan bukan hanya mengejar keuntungan singkat[4].

Budaya risiko yang kuat membawa manfaat nyata bagi organisasi, seperti mengurangi risiko penipuan dan pelanggaran integritas, meningkatkan reputasi dan kepercayaan publik, mempermudah pemenuhan kepatuhan regulasi, serta mendorong inovasi dan peningkatan kinerja keuangan. Dengan demikian, budaya risiko bukanlah beban, melainkan aset strategis yang memperkuat keberlanjutan dan kredibilitas lembaga keuangan.

Melalui webinar ini, diharapkan peserta dapat memahami secara mendalam konsep risk appetite dan risk culture, serta pentingnya sinergi antara kedua pilar tersebut dalam memperkuat penerapan manajemen risiko yang terintegrasi dan efektif di sektor keuangan. Dengan penguatan kedua aspek ini, lembaga keuangan dapat menghadapi tantangan dengan lebih percaya diri dan meraih peluang pertumbuhan yang berkelanjutan di tengah ketidakpastian masa depan.


 


[1] EY. How can reimagining risk prepare you for an unpredictable world?.

https://www.ey.com/en_gl/insights/consulting/how-can-reimagining-risk-prepare-you-for-an-unpredictable-wolrd 

[2] McKinseyManaging the People Side of Risk – Risk Culture Transformation.

https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/dotcom/client_service/Risk/PDFs/Managing_the_people_side_of_risk 

[3] Deloitte.Fixing the foundations: building risk culture and governance block-by-block.

https://www.deloitte.com/uk/en/Industries/financial-services/blogs/fixing-the-foundations-building-risk-culture-and-governance-block-by-block.html 

[4] KPMG. Risk Culture: A Balancing Act.https://assets.kpmg.com/content/dam/kpmg/ie/pdf/2025/02/ie-risk-culture-a-balancing-act 

Objective
  1. Memberikan wawasan komprehensif mengenai konsep dan pentingnya risk appetite serta risk culture.
  2. Memberikan wawasan komprehensif mengenai pentingnya risk culture sebagai fondasi perilaku dan sikap organisasi dalam menghadapi risiko secara efektif.
  3. Mendorong sinergi antara risk appetite dan risk culture untuk memperkuat pengelolaan risiko yang terintegrasi dan berkelanjutan di sektor keuangan.
  4. Meningkatkan pemahaman peserta tentang pentingnya manajemen risiko yang terintegrasi.
  5. Mendorong kesadaran dan komitmen para pelaku sektor keuangan dalam mengimplementasikan manajemen risiko terintegrasi.
Participant
Pimpinan dan Pegawai OJK, Perwakilan Industri Jasa Keuangan, Akademisi dan Masyarakat Umum
Speaker
  • Tony (Kepala Direktorat Pengaturan Prudensial dan Integritas Sistem Keuangan, OJK)
  • Ahmad Siddik Badruddin (Direktur Manajemen Risiko PT Pertamina)
  • Goei Siauw Hong (Komisaris Independen PT Bank Permata Tbk)